Selasa, 19 September 2017

Sidang Ke-4 Kasus OTT Dugaan Suap Proyek PENS, Umar Faruq Mengaku Pimpinan Dewan Ditekan Anggota

Baca Juga



7 (tujuh) saksi saat mengikuti proses sidang ke-4 kasus OTT dugaan suap pengalihan dana-hibah anggaran proyek pembangunan kampus PENS, Selasa (19/09/2017), diruang sidang Pengadilan Tipikor, jalan Juanda - Surabaya.

Kota SURABAYA - (harianbuana.com).
Sidang ke-4 (empat) kasus Operasi Tangkap Tangan (OTT) dugan 'suap' pengalihan dana-hibah anggaran proyek pembangunan kampus Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) pada DPUPR Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto Tahun Anggaran 2017 senilai Rp. 13 miliar, atas terdakwa Wiwiet Febryanto selaku Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Kota (Pemkot) Mojokerto Wiwiet Febryanto yang digelar di Pengadilan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) Surabaya pada Selasa (19/09/2017) pagi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadirkan 7 (tujuh) saksi yang terdiri dari 5 (lima) Anggota DPRD Kota Mojokerto dan 3 (tiga) Pejabat Pemkot Mojokerto.

Ketujuh orang saksi yang dihadirkan JPU KPK dalam sidang ke-4 tersebut, yakni: (1). Umar Faruq selaku Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto (non aktif) asal PAN, yang saat ini berstatus tahanan KPK; (2). Ketua Komisi II DPRD Kota Mojokerto, Aris Satrio Budi asal PAN; (3). Wakil Ketua Komisi I DPRD Kota Mojokerto, Yuli Veronica Maschur asal PAN; (4). Sekretaris Komisi III DPRD Kota Mojokerto Suyono asal PAN, (5). Anggota Komisi III DPRD Kota Mojokerto, Gunawan asal PPP; (6). mantan Kadispendik Pemkot Mojokerto, Subambihanto yang saat ini menjabat Kepala Disporabudpar Pemkot Mojokerto; dan (7). Helmi, salah-satu Kabid di Bappeko Mojokerto.

Sidang Tipikor yang dimulai pukul 09:00 WIB dalam kasus OTT dugaan 'suap' terkait ikhwal munculnya 'bagai-bagi uang suap' yang sudah diterima oleh seluruh Anggota DPRD Kota Mojokerto, saksi yang sekaligus terdakwa Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq (non-aktif) mengaku, bahwa Pimpinan Dewan mendapat tekanan luar biasa dari Anggota DPRD Kota Mojokerto agar  menagih 'fee' proyek Jasmas (Jaring Aspirasi Masyarakat) dan setoran 'uang triwulanan' yang sebelumnya telah dijanjikan oleh pihak eksekutif. "Pimpinan Dewan mendapat tekanan dari semua anggota Dewan agar segera mencairkan fee Jasmas dan setoran triwulan yang dijanjikan eksekutif”, aku saksi Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto (non-aktif) Umar Faruq yang sekigus salah-satu tersangka dalam kasus ini, Selasa (19/09/2017), dilokasi sidang.

Menjawab lebih-jauh atas pertanyaan yang diajukan JPU KPK, terdakwa saksi Wakil Pimpinan DPRD Kota Mojokerto (non-aktif) Umar Faruq memaparkan, bahwa tekanan Anggota Dewan itu muncul lantaran Pimpinan Dewan dinilai tidak mampu juga tidak memiliki ketegasan. Sehingga, uang  penghasilan tambahan yang dikantongi Anggota Dewan secara tidak-resmi pada tahun sebelumnya, jauh dari nilai uang yang dijanjikan. “Pimpinan Dewan diserang anggota (Red: Dewan), karena dinilai tidak becus, tidak berwibawa. Bahkan, Anggota Dewan meminta agar Ketua Fraksi dilibatkan dalam negosiasi dengan eksekutif. Sebelumnya, angka realisasi fee jauh dari nilai yang sudah disepakati. Karena itulah, anggota Dewan meminta agar tahun ini kejadian realiasi jauh dari harapan itu tidak terulang lagi", papar saksi Wakil Kertua DPRD Kota Mojokerto (non-aktif) Umar Faruq, yang sekaligus salah-satu tersangka dalam kasus 'suap' tersebut.

Lebih jauh lagi, Umar Faruq membeberkan, bahwa para Anggota Dewan juga menuntut penghasilan tambahan tidak resmi yang diistilahkan dengan istilah ‘sumur tujuh’ atau ‘jamu’ dalam menyebut penghasilan tambahan yang ditentukan nilainya sebesar Rp. 65 juta per Anggota Dewan. “Selain tambahan penghasilan, ditetapkan nilai Jasmas sebesar Rp. 26 miliar, dengan rincian 22 orang Anggota Dewan masing-masing mendapat platform senilai Rp. 1 miliar. Selebihnya (Red: Rp. 4 miliar) untuk 3 orang Pimpinan Dewan", beber Umar Faruq, seraya membeber hitungan yang telah disodorkan kepada pihak eksekutif saat pertemuan di Hotel Santika, Jakarta, bulan Oktober tahun 2016 yang lalu.

Atas pertanyaan yang diajukan JPU KPK pula, Umar Faruq menjelaskan, bahwa setelah ditunggu hingga bulan Mei 2017 tidak-ada realisasi 'fee' dan 'uang jamu' seperti dimaksud, Anggota Dewan kembali mendesak Pimpinan Dewan agar menagih janji ke eksekutif. Maka, pejabat eksekutif terkait yang ditagih saat itu adalah Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febriyanto yang notabene merupakan pihak yang menangani secara langsung proyek Penataan Lingkungan yang dialiaskan menjadi Proyek Jasmas. Wal-hasil, disanggupilah oleh terdakwa  Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto. “Terdakwa (Red: Wiwiet Febriyanto) menyanggupi memberikan Rp. 500 juta. Seminggu sebelum OTT, terdakwa menyerahkan uang Rp. 150 juta kepada Ketua Dewan. Dijanjikan seminggu kemudian, akan diberi kekurangannya (Rp 350 juta)", jelas saksi Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto non-aktuf Umar Faruq, yang sekaligus salah-satu tersangka dalam kasus ini.

Saksi, Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto non-aktif Umar Faruq yang sekaligus salah-satu tersangka dalam kasus inipun memaparkan, bahwa setelah Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo menerima uang Rp. 150 juta dari Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto, Pimpinan Dewan langsung membagi-bagikan uang tersebut kepada semua Anggota Dewan. "Setelah mendapat kucuran uang Rp. 150 juta dari Wiwiet Febriyanto (Red: selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto), Pimpinan Dewan mendistribusikan uang dengan komposisi 22 (dua puluh dua) Anggota Dewan masing-masing mendapat bagian Rp. 5 juta. Sementara untuk Ketua Dewan mendapat bagian Rp. 15 juta, sedangkan Saya (Umar Faruq) dan Abdullah Fanani (Wakil Pimpinan Dewan) masing-masing Rp. 12,5 juta", papar saksi Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto non-aktif Umar Faruq, yang juga salah-satu tersangka dalam kasus ini.

Selain itu, saksi Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto non-aktif Umar Faruq yang juga salah-satu tersangka kasus OTT dugaan 'suap' inipun menyatakan, jika uang yang diterima Dewan dari terdakwa merupakan tindak-lanjut pertemuan 3 (tiga) Pimpinan Dewan dengan Wakil Wali Kota Mojokerto Suyitno di Hotel Panda yang berlokasi dikawasan Kecamatan Trawas Kabupaten Mojokerto, dan juga pertemuan dengan Wali Kota Mojokerto di rumah dinas Wali Kota. Bahkan, Faruq pun menyebut jika Wali Kota memerintahkan terdakwa Wiwiet Febryanto selaku Kadis PUPR Pemkot Mojokerto untuk menyelesaikan 'fee jasmas' dan 'setoran triwulan'.

Hanya saja, pengakuan saksi Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq yang sekaligus salah-satu tersangka dalam kasus ini, dibantah keras oleh terdakwa mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febriyanto. Hal ini terjadi, ketika terdakwa mantan Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febriyanto diberi kesempatan oleh Ketua Majelis Hakim HR Unggul Warso Mukti untuk mengajukan pertanyaan kepada para saksi. “Wali Kota tidak memerintahkan pemberian fee Jasmas maupun tri bulan. Justru saya dipanggil untuk menghitung tunjangan perumahan Dewan dalam penganggaran tahun 2018. Selain itu, untuk urusan Jasmas yang terkait titik sasaran proyek fisik yang diajukan Dewan, Wali Kota meminta agar diselesaikan dengan Dinas PUPR”, sergah terdakwa Wiwiet Febriyanto.

Seperti diketahui, terungkapnya kasus dugaan 'suap' pengalihan dana-hibah (DAK/ Dana Alokasi Khusu) anggaran proyek pembangunan kampus PENS pada Dinas PUPR Pemkot Mojokerto Tahun Anggaran 2017 senilai Rp. 13 miliar menjadi (ditambahkan ke) proyek Penataan Lingkungan pada Dinas PUPR Pemkot Mojokerto Tahun Anggaran 2017 Rp. 13 miliar sehingga berubah menjadi Rp. 26 miliar ini, setelah KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Wiwiet Febryanto dan 3 (tiga) Pimpinan DPRD Kota Mojokerto pada Jumat (16/06/2017) tengah malam - Sabtu (17/06/2017) dini hari. Ketiga Pimpinan DPRD Kota Mojokerto itu masing-masing Ketua DPRD Kota Mojokerto Purnomo (PDI-P), Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Umar Faruq (PAN) dan Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Abdullah Fanani (PKB).

Bersama dengan ditangkapnya ke-4 pejabat tersebut, Tim Satgas OTT KPK juga berhasil menyita barang bukti berupa uang tunai sebesar Rp. 470 juta yang diduga berasal dari pengusaha bernama Ipang dan Dody Setiawan yang digunakan oleh Wiwiet Febrianto untuk menyuap ke-3 (tiga) Pimpinan DPRD Kota Mojokerto tersebut. Diduga pula, dari uang Rp. 470 juta itu, Rp. 300 juta diantaranya merupakan pembayaran 'komitmen fee' atau suap' yang disepakati sebelumnya sebesar Rp. 500 juta, sedangkan untuk 'komitmen fee atau suap' sebesar Rp. 150 juta telah dibayarkan sepekan sebelumnya, yakni Sabtu (10/06/2017). Sementara selebihnya, yakni Rp. 170 juta, diduga digunakan untuk memenuhi jatah rutin triwulanan dewan.

Sementara itu, atas dugaan tindak pidana korupsi 'suap' yang diduga telah diperbuatnya, JPU KPK mendakwa, bahwa perbuatan terdakwa merupakan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 13 jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) KUHAP.  *(DI/Red)*


BERITA TERKAIT :
*Siap Disidangkan, Hari ini Tiga Pimpinan DPRD Kota Mojokerto Tersangka Kasus Dugaan Suap Proyek PENS Dipindah Ke Rutan Medaeng
*Sidang Ke-3 Kasus OTT Dugaan Suap Proyek PENS, JPU Hadirkan 2 Saksi Kontraktor
*Tiga Saksi Sidang Kasus OTT Dugaan Suap Proyek PENS Mengaku Tidak Ada Arahan Wali Kota Mojokerto
*Jadi Saksi Sidang Kasus OTT Dugaan Suap, Sekdakot Mojokerto Sebut Ada Komitmen Dari Wakil Wali Kota...?
*Sidang Perdana Kasus OTT Dugaan Suap Proyek PENS, Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Teramcam Sanksi 20 Tahun Penjara
*Hari Ini Sidang Perdana Kasus OTT Suap Pengalihan Anggaran Proyek Pembangunan PENS 2017 Rp. 13 Miliar
*KPK Perpanjang Masa Penahanan Tiga Pimpinan DPRD Kota Mojokerto
*Tersangka OTT KPK Kasus Suap, Wiwiet Febryanto Segera Sidang Di Surabaya
*Kadis PUPR Pemkot Mojokerto Jadi Warga Binaan Rutan Medaeng