Baca Juga
Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami biaya pembangunan rumah mantan Sekretaris Mahkamah Agung (Nurhadi) yang diduga dihasilkan dari tindak pidana korupsi. Terkit itu, Tim Penyidik KPK hari ini, Selasa 15 September 2020, memeriksa Lo Jecky selaku arsitek yang mendesain rumah milik Nurhadi tersebut.
"Lo Jecky diperiksa sebagai Saksi untuk tersangka NHD (Nurhadi). Penyidik mendalami pengetahuan Saksi terkait dengan profesi Saksi sebagai arsitek yang mendesain rumah milik NHD yang berada di kawasan Hanglekir dan Patal Senayan yang diduga bahwa dana yang dibayarkan oleh NHD untuk mendesain ke dua rumah tersebut berasal dari suap dan gratifikasi yang diterimanya", terang Pelaksana-tugas (Plt.) Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri saat dikonfirmasi wartawan, Selasa 15 September 2020.
Selain menelisik biaya pembangunan rumah tersebut, Tim Penyidik KPK juga menelisik soal uang yang diberikan Nurhadi ke pihak lain. Terkait hal ini, penyidik memeriksa Wilson Margatan.
"Wilson Margatan diperiksa sebagai Saksi untuk NHD (Nurhadi). Melalui keterangan Saksi ini, penyidik masih terus mendalami adanya dugaan aliran uang oleh NHD ke berbagai pihak", terangnya pula.
Tim Penyidik KPK pun tengah menelisik aliran uang yang diberikan oleh tersangka Rezky Herbiono menantu Nurhadi ke beberapa pihak. Terkait itu, kali ini, Tim Penyidik KPK langsung memeriksa Rezky Herbiono.
"Tersangka RHE (Rezky Herbiono) juga dilakukan pemeriksaan lanjutan sebagai Tersangka. Penyidik mengonfirmasi terkait dugaan banyaknya aliran uang yang di terima maupun diberikan oleh RHE dari dan ke berbagai pihak", jelasnya.
Dalam perkara ini, pada 16 Desember 2019, KPK telah menetapkan 3 (tiga) orang Tersangka. Ketiganya yakni Nurhadi Abdur Rachman, Rezky Herbiyono menantu Nurhadi dan Hiendra Soenjoto.
KPK menetapkan Nurhadi, Rezky Herbiyono dan Hiendra Soenjoto sebagai Tersangka atas perkara dugaan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung.
Nurhadi Abdur Rachman dan Rezky Herbiyono ditetapkan KPK sebagai Terangka penerima suap dan gratifikasi, sedangkan Hiendra Soenjoto ditetapkan KPK sebagai Tersangka pemberi. Ketiganya kemudian melarikan diri dan yang kemudian dimasukkan KPK dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak Februari 2020.
Masa buronan Nurhadi dan menantunya Rezky berakhir setelah ditangkap tim KPK di Jakarta Selatan pada Senin (01/06/2020) malam. Sementara, Hiendra Soenjoto hingga saat ini masih menjadi buronan KPK.
KPK menduga, ada 3 (tiga) perkara yang menjadi sumber suap dan gratifikasi yang menjerat Nurhadi. Yakni perkara perdata PT. MIT merlawan PT. Kawasan Berikat Nusantara (PT. KBN), sengketa saham di PT. MIT dan gratifikasi terkait dengan sejumlah perkara di pengadilan.
Dalam perkara PT. MIT melawan PT. KBN, Rezky selaku menantu Nurhadi diduga menerima 9 (sembilan) lembar cek atas nama PT. MIT dari Direktur PT. MIT Hiendra Soenjoto untuk mengurus perkara itu.
KPK menyangka, kedua Tersangka diduga menerima hadiah atau janji terkait pengurusan perkara perdata PT.MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp. 14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT. MIT kurang lebih sebesar Rp. 33,1 miliar dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp. 12, 9 miliar. Sehingga, akumulasi yang di duga diterima kurang lebih sebesar Rp. 46 miliar.
Terhadap Nurhadi dan Rezky, KPK menyangka, kedua Tersangka diduga telah melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b subsider Pasal 5 ayat (2) subsider Pasal 11 dan/atau Pasal 12B Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Terhadap Hiendra Soenjoto, KPK menyangka, tersangka Hiendra Soenjoto diduga telah melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b subsider Pasal 13 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam penyidikan perkara tersebut, KPK juga telah menemukan bukti permulaan yang cukup untuk mengembangkan perkara yang menjerat Nurhadi ke arah dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). *(Ys/HB)*
BERITA TERKAIT :