Rabu, 15 Mei 2024

KPK Tahan 2 Tersangka Baru Perkara Korupsi Proyek Fiktif Di PT. Amarta Karya

Baca Juga


Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu saat memberi keterangan dalam konferensi pers pengumuman penangkapan dan penahanan 2 Tersangka Baru perkara dugaan TPK proyek fiktif di PT. Amarta Karya (Persero) 2018–2020. di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Rabu (15/05/2024) sore.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini, Rabu 15 Mei 2024, melakukan upaya paksa penangkapan dan penahanan terhadap 2 (dua) Tersangka Baru perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) proyek fiktif di PT. Amarta Karya (Persero) 2018–2020.

Penangkapan dan penahanan terhadap 2 Tersangka Baru perkara tersebut, diumumkan kepada publik secara resmi oleh KPK dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan dengan menghadirkan 2 Tersangka Baru perkara tersebut.

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, dilakukan penahanan para tersangka masing-masing 20 hari pertama mulai 15 Mei 2024 sampai dengan 3 Juni 2024 di Rutan (Rumah Tahanan Negara) Cabang KPK", terang Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur Rahayu dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan, Rabu (15/05/2024) sore.

Asep menjelaskan, 2 Tersangka Baru perkara tersebut, yakni Pandhit Seno Aji (PSA) dan Deden Prayoga (DP). Keduanya merupakan karyawan PT. Amarta Karya (Persero) yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai Tersangka Baru perkara tersebut.

Keduanya ditetapkan sebagai Tersangka Baru perkara tersebut dan ditahan, berdasarkan fakta yang muncul dalam persidangan terdakwa mantan Direktur Utama PT. Amarta Karya (Persero) Catur Prabowo yang diperkuat dengan kecukupan alat bukti.

Dalam serangkaian proses persidangan perkara tersebut, terungkap adanya keterlibatan aktif dari Pandhit dan Seno dan berakibat timbulnya kerugian keuangan negara akibat subkontraktor fiktif.

Dijelaskan Asep pula, bahwa Pandhit Seno Aji dan Deden Prayoga adalah orang kepercayaan dari Catur Prabowo pada saat menjabat Direktur Utama PT. Amarta Karya. Keduanya diperintahkan untuk memenuhi berbagai kebutuhan pribadi dari Catur Prabowo.

Untuk merealisasikan perintah dimaksud, Pandhit dan Deden berkoordinasi dengan Trisna Sutisna selaku Direktur Keuangan PT. Amarta Karya (Persero).

"Dengan persetujuan Trisna Sutisna, Pandhit Seno Aji dan Deden Prayoga kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV yang akan dijadikan sebagai subkontraktor dari PT. Amarta Karya (Persero) untuk menerima pembayaran kerja sama fiktif", jelas Asep Guntur Rahayu.

Pandhit dan Deden kemudian membentuk tiga CV sebagai subkontraktor fiktif dan menjadikan keluarga mereka sebagai komisaris dan direktur CV. tersebut.

Tim Penyidik KPK juga menemukan pekerjaan yang dicantumkan dalam dokumen pembayaran pekerjaan atas tiga CV tersebut adalah pekerjaan yang sudah selesai dilaksanakan maupun yang tidak pernah dilaksanakan.

Tim Penyidik menduga, PT. Amarta Karya (Persero) diduga telah mencairkan sejumlah dana untuk pembayaran subkontraktor fiktif untuk ke tiga CV tersebut dalam periode tahun 2018–2020 yang sepenuhnya atas sepengetahuan dan persetujuan dari Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.

Sedangkan untuk buku rekening bank, kartu ATM bank dan bonggol cek tertanda-tangan dari tiga CV dimaksud dikuasai dan dipegang oleh Deden, dengan pencairan dan penggunaan uang menunggu perintah dari Catur Prabowo dan Trisna Sutisna.

"Pandhit dan Deden juga menutup akses informasi dan data saat dilakukan pemeriksaan dari Satuan Pengawasan Internal PT. Amarta Karya", tandas Asep 

Tim penyidik KPK menduga, kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi tersebut sekitar Rp. 46 miliar. Tim Penyidik KPK masih terus melakukan penelusuran dan pendalaman soal nominal uang dari proyek subkontraktor fiktif yang dinikmati oleh Pandhit Seno Aji dan Deden Prayoga.

Terhadap Pandhit Seno Aji dan Deden Prayoga, Tim Penyidik KPK menyangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. *(HB)*