Jumat, 16 Juni 2023

KPK Dalami Adanya 'Isu' Oknum PNS ESDM Dapat 'Setoran' Bulanan Terkait IUP

Baca Juga


Ketua KPK Firli saat memberi keterangan dalam konferensi pers pengumuman 10 Tersangka perkara dugaan TPK pembayaran Tukin di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020–2022 dan penahanan terhadap 9 dari 10 Tersangka perkara tersebut, Kamis (15/06/2023) sore, di Gedung Juang KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan
.


Kota JAKARTA – (harianbuana.com).
Atas beredarnya 'isu' di masyarakat tentang adanya 'setoran' bulanan terkait Ijin Usaha Pertambangan (IUP) kepada 'oknum' Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan akan akan 'mendalaminya'.

Ketua KPK Firli Bahuri menegaskan, bahwa pihaknya akan mendalami 'isu' tersebut. Yang mana, dalam pendalaman 'isu' tersebut, pihaknya harus mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup untuk menentukan seseorang itu 'benar' melakukan tindak pidana dimaksud.

"Tadi terkait salah-satu sosok, apakah betul dia terlibat dalam suatu peristiwa pidana tentu, itu jadi PR kita untuk mendalami, karena kita harus mengumpulkan keterangan, bukti-bukti", ujar Ketua KPK Firli Bahuri dalam konferensi pers pengumuman 10 Tersangka perkara dugaan TPK pembayaran Tukin di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020–2022 dan penahanan 9 dari 10 Tersangka perkara tersebut, Kamis (15/06/2023) sore, di Gedung Juang KPK jalan Kuningan Persada Kavling 4 Setiabudi Jakarta Selatan.

Ditegaskan Firli Bahuri, bahwa jika memang ditemukan bukti adanya setoran kepada oknum PNS Kementerian ESDM dimaksud, pihaknya akan mendalaminya lebih dalam. Ditegaskannya pula, bahwa sesuai dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Korupsi, hal itu merupakan 'suap',

"Tentu tadi kalau seandainya disebutkan dia pernah menerima sesuatu atau menerima jatah bulanan, tentu ini perlu kita dalami. Di dalam UU tentang Pemberantasan Korupsi disebutkan itu dikenal dengan istilah suap", tegasnya.

Sebagaimana diketahui, KPK pada Kamis (15/06/2023) sore telah mengumumkan secara resmi 10 Tersangka perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) pembayaran tunjangan kinerja (Tukin) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun anggaran 2020–2022 dan langsung melakukan penahanan terhadap 9 (sembilan) dari 10 Tersangka.

Sepuluh orang yang ditetapkan Tim Penyidik KPK sebagai Tersangka perkara dugaan TPK pembayaran Tukin di Kementerian ESDM tahun anggaran 2020–2022 tersebut adalah:
1. Priyo Andi Gularso (PAG), Sub Bagian Perbendaharaan/ PPSPM;
2. Novian Hari Subagio (NHS), Pejabat Pembuat Komitmen (PPK);
3. Lernhard Febrian Sirait (LFS), Staf PPK;
4. Abdullah (A), Bendahara Pengeluaran;
5. Christa Handayani Pangaribowo (CHP), Bendahara Pengeluaran;
6. Rokhmat Annashikhah (RA), PPABP;
7. Beni Arianto (BA), Operator SPM;
8. Hendi (H), Penguji Tagihan;
9. Haryat Prasetyo (HP), PPK; dan
10. Maria Febri Valentine (MFV), Pelaksana Verifikasi dan Perekaman Akuntansi.

Untuk sementara, Abdullah, 1 (satu) dari 10 Tersangka perkara tersebut belum dilakukan penahan karena sakit. Sedangkan 9 Tersangka lainnya tersebut langsung dilakukan penahanan. Untuk kepentigan penyidikan, 9 Tersangka tersebut akan menjalani masa penahanan pertama selama 20 hari ke depan.

Masa penahan pertama mereka terhitung sejak tanggal 15 Juni sampai dengan 4 Juli 2023. Yang mana Rokhmat, Haryat, Priyo, Novian, Beni dan Hendi ditahan sementara di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK pada Pomdam Jaya Guntur. Adapun Christa dan Maria ditahan sementara di Rutan Gedung Merah Putih KPK. Sedangkan Lernhard ditahan sementara di Rutan Kavling C1 atau KPK lama.

Firli Bahuri menjelaskan, selama periode tahun 2020–2022, Kementerian ESDM merealisasikan Tukin sebesar Rp. 221 miliar. Selama periode itu, para Tersangka diduga melakukan manipulasi dan menerima pembayaran Tukin yang tidak sesuai dengan yang semestinya 

Dalam proses pengajuan anggaran, para Tersangka diduga tidak menyertai data dan dokumen pendukung. Sehingga, dari Tukin yang seharusnya dibayarkan sekitar Rp. 1,3 miliar menjadi sekitar Rp. 29 miliar.

"Bahwa dalam proses pengajuan anggarannya, diduga tidak disertai dengan data dan dokumen pendukung serta melakukan manipulasi. Sehingga dari jumlah tunjangan kinerja yang seharusnya dibayarkan sebesar Rp. 1.399.928.153,–, namun pada faktanya yang dibayarkan sebesar Rp. 29.003.205.373,–. Akibat perbuatan tersebut oleh para Tersangka telah terjadi selisih atau kelebihan sebesar Rp. 27.603.277.720,–. Dan, ini menimbulkan kerugian negara", jelas Firli Bahuri.

Dalam perkara ini, lanjut Firli Bahuri, Tim Penyidik KPK menduga:
1. Priyo diduga menerima Rp. 4,75 miliar;
2. Novian diduga menerima Rp. 1 miliar;
3. Febian diduga Rp. 10,8 miliar;
4. Abdullah diduga menerima Rp. 350 juta;
5. Citra diduga menerima Rp 2,5 miliar;
6. dan Hartyati diduga menerima Rp. 1,4 miliar;
7. Beni diduga menerima Rp. 4,1 miliar;
8. Hendi diduga menerima Rp. 1,4 miliar;
9. Rokhmat diduga menerima Rp. 1,6 miliar; dan
10. Maria diduga menerima Rp. 900 juta.

Tim Penyidik KPK pun menduga, lanjut Firli Bahuri, uang-uang itu kemudian diduga juga digunakan untuk berbagai keperluan. Di antaranya:
• Diduga untuk keperluan pemeriksa BPK RI sejumlah sekitar Rp. 1,035 miliar;
• Dana taktis untuk operasional kegiatan kantor;
• Keperluan pribadi, di antaranya untuk kerja-sama umroh, sumbangan nikah, THR, pengobatan, pembelian aset berupa tanah, rumah, indoor volley, mess atlet, kendaraan serta logam mulia.

Ditegaskan Firli Bahuri, bahwa para pelaku diduga melakukan aksinya dengan menggunakan modus typo atau salah ketik dengan menambahkan angka nol satu digit, misal Tukin Rp. 5 juta menjadi Rp. 50 juta. Yang mana, negara seharusnya hanya mengeluarkan uang Tukin untuk mereka hanya Rp. 1.399.928.153,–. Namun, karena uang Tukin itu membengkak hingga Rp. 29.003.205.373,–, negara dirugikan Rp 27,6 miliar.

"Dengan adanya penyimpangan tersebut, diduga telah mengakibatkan kerugian negara sekurang kurangnya bernilai sekitar Rp 27, 6 miliar", tegas Firli Bahuri.

Terhadap para Tersangka, Tim Penyidik menyangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. *(HB)*