Jumat, 15 September 2023

Bacakan Pledoinya, Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Akui Terima Suap Hanya Rp. 2,75 Miliar

Baca Juga


Wakil Ketua DPRD Provinsi Jatim non-aktif Sahat Tua P. Simanjuntak saat membacakan pledoinya dalam sidang perkara dugaan TPK suap pengelolaan dana hibah (Pokir Dewan) di Pemprov Jatim, Jum'at 15 September 2023, di ruang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo, Provinsi Jawa Timur.


Kota SURABAYA – (harianbuana.com).
Sidang perkara dugaan Tindak Pidana Korupsi (TPK) suap pengelolaan dana hibah {pokok pikiran (Pokir) Dewan (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah)} di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim dengan terdakwa Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jatim Sahat Tua P. Simanjutak kembali digelar hari ini, Jum'at 15 September 2023, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pêngadilan Negeri (PN) Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur.

Dalam sidang beragenda Pembacaan Pledoi atau Nota Keberatan atas Tuntutan yang diajukan Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini, terdakwa Wakil Ketua DPRD Provinsi Jatim non-aktif Sahat Tua P. Simanjuntak menyampaikan sejumlah keberatan atau sanggahan atas tuntutan yang diajukan Tim JPU KPK.

Dalam pledoi yang disampaikan, terdakwa Sahat Tua P. Simanjutak di antaranya membantah bahwa dirinya menerima uang senilai Rp. 39,5 miliar seperti halnya dakwaan dan tuntutan Tim JPU KPK.

"Saya menyatakan bersalah, tapi saya izin menglarifikasi jumlah nominal yang didakwakan kepada saya, bukan sebesar Rp. 39,5 miliar", ujar terdakwa Sahat Tua P. Simanjuntak dalam sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur,  Jum'at (15/09/2923).

Sahat menegaskan, bahwa dalam perkara ini, dirinya tidak menerima uang Rp. 39,5 miliar sebagaimana dalam dakwaan dan tuntutan Tim JPU KPK, melainkan hanya Rp. 2,75 miliar. Itu pun, ia terima secara tidak langsung.

"Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham (dua terdakwa penyuap) secara tidak langsung hanya sepanjang tahun 2022 melalui saudara Rusdi hanya sebesar Rp. 2,75 miliar", tegas Sahat.

Membacakan pledoinya, Sahat merinci uang yang ia terima selama tahun 2022. Yakni, awalnya Rp. 1 miliar, berikutnya Rp. 250 juta melalui transfer ke rekening Rusdi staf ahli Sahat, selanjutnya Rp. 500 juta tunai, lalu Rp. 1 miliar waktu tangkap tangan (TT).

“Sedangkan sisanya Rp. 36 miliar, sebagaimana kesaksian saudara Hamid dan saudara Een Ilham diberikan pada almarhum Kosim (mantan pegawai Biro Administrasi Pembangunan Provinsi Jatim) uang itu tidak pernah saya terima", rinci Sahat.

Dalam pledoinya, Sahat pun menyatakan, bahwa dirinya tidak pernah mengenal dan bertemu Kosim. Sahat juga menyatakan, bahwa hal itu tidak sesuai fakta persidangan yang disampaikan Abul Hamid dan Ilham Wahyu dalam sidang sebelumnya.

Selain itu, Sahat juga memastikan, bahwa Tim Penyidik KPK dan Tim JPU KPK pastinya sudah memeriksa HP miliknya yang dipastikan tidak ada rekam jejak digital atau bukti riwayat chat komunikasi antara dia dengan Kosim

“Dalam fakta persidangan, saksi Abdul Hamid dan saksi Wahyudi hanya mengenal saya Tahun 2022 dan itu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya", ujar Sahat.

Oleh sebab itu, menurut Sahat, tuntutan Tim JPU KPK yang menuntut supaya Majelis Hakim menjatuhkan vonis 'bersalah' dan menjatuhkan sanksi pidana 12 tahun penjara, denda Rp. 1 miliar subsider 6 (enam) bulan kurungan dan membayar uang pengganti Rp. 39,5 miliar serta sanksi pencabutan hak politik selama 5 (lima) tahun terhadapnya adalah 'sangat berat'.

“Itu hukuman yang sangat berat bagi saya dan keluarga. Saya tidak pernah menerima uang sebesar itu, bagaimana saya bisa mengakui sesuatu yang tidak pernah saya tahu dan tidak pernah saya lakukan", ungkap Sahat.

Senada dengan pledoi yang disampaikan Sahat, Boby selaku Ketua Tim Kuasa Hukum Sahat Tua P. Simanjutak juga menyatakan keberatan atas sejumlah poin tuntutan Tim JPU KPK. Seperti halnya poin Sahat memerintahkan orang kepercayaannya Kosim (almarhum) dan Rusdi untuk berhubungan langsung dengan koordinator lapangan (Korlap) kelompok masyarakat (Pokmas).

“Dari fakta persidangan yang ada, tidak satupun Saksi yang menyebutkan dan bisa membuktikan Terdakwa (Sahat) menyuruh untuk mencari Korlap Pokmas", kata Bobby.

Dalam pledoinya, Boby pun membantah poin dalam tuntutan Tim JPU KPK yang menyebut bahwa Sahat Tua mengenal almarhum M.Kosim.

"Faktanya, Terdakwa tidak mengenal M. Kosim. Asumsi tersebut hanya berdasarkan kesaksian dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi. Terdakwa sendiri juga sudah membantahnya pada persidangan sebelumnya", ujar Bobby.

Sementara itu, dalam perkara ini, di antara point Surat Tuntutannya, Tim JPU KPK mengajukan tuntutan supaya Majelis Hakim menjatuhkan vonis Sahat Tua P. Simanjuntak 'bersalah' dan menjatuhi sanksi pidana 12 tahun penjara dan denda Rp. 1 miliar subsider 6 (enam) bulan kurungan.

Selain itu, Tim JPU KPK juga menuntut supaya Majelis Hakim juga menjatuhkan sanksi pidana terhadap Sahat Tua P. Simanjuntak untuk membayar uang pengganti Rp. 39,5 miliar serta mencabut hak politik Sahat selama 5 tahun, terhitung sejak Sahat Tua P. Simnajutak selesai menjalani masa hukumannya.

"Menuntut agar Majelis Hakim untuk menjatuhkan pidana penjara terhadap terdakwa Sahat dengan pidana penjara 12 tahun dikurangi dengan masa tahanan selama persidangan", ujar JPU KPK Arif Suhermanto dalam persidangan di ruang Cakra Pengadilan Tipikor pada PN Surabaya jalan Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, Jum'at 08 September 2023.

Dalam Surat Tuntutannya, Tim JPU KPK menuntut supaya Majelis Hakim menyatakan terdakwa Sahat Tua P. Simanjutak 'bersalah' telah melanggar Pasal 12 huruf a, Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Unrang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tim JPU KPK pun menuntut supaya Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan menyatakan bahwa terdakwa Sahat Tua P. Simanjutak juga menerima suap dari 2 (dua) terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola Kelompok Masyarakat (Pokmas) tahun anggaran 2020–2022.

"Berdasarkan pembuktian, uang Rp. 39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui (staf ahlinya) terdakwa Rusdi", lontar Tim JPU KPK.

Selain sanksi pidana 12 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 5 tahun terhitung sejak Sahat Tua selesai menjalani masa hukumannya, Tim JPU KPK juga mengajukan tuntutan supaya Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan menjatuhkan sanksi pidana membayar denda Rp. 1 miliar subsidair 6 (enam) bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp. 39,5 miliar paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan perkara ini berkekuatan hukum tetap.

"Jika tidak bisa membayar uang pengganti, maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun", tegas JPU KPK Arif Suhermanto.

Sementara itu, untuk staf ahli Sahat Tua, yaitu Rusdi, Tim JPU KPK mengajukan tuntutan supaya Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan menjatuhkan sanksi pidana 4 (empat) tahun penjara, denda Rp. 200 juta atau subsider 6 (enam) bulan kurungan.

"Menuntut terdakwa Rusdi dipidana penjara 4 (empat) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 200 juta subsider pidana pengganti kurungan 6 (enam) bulan", tandasnya. *(DI/HB)*


BERITA TERKAIT: